Selasa, 11 Mei 2010

Pejabat Ditjen Pajak Sumut Terindikasi Terlibat Mafia Pajak di PT ...

Pejabat Ditjen Pajak Sumut

MEDAN- Ketua Panja DPR RI, Melchias Markus Mekeng, mengatakan pihaknya mengendus indikasi keterlibatan sejumlah petinggi Ditjen Pajak I Sumut dalam mafia pajak PT PHS. Hal itu disampaikannya kepada sejumlah wartawan di Medan, Senin (10/5).

Mekeng langsung menyebut sejumlah nama petinggi yang diduga terlibat, di antaranya mantan Kakanwil Ditjen Pajak I Sumut berinisial RB dan mantan Kepala Bidang Pemeriksa, Penyidik dan Penagihan Pajak (P4) berinisial RNLD.

Tak cuma itu, lanjutnya, pihaknya selama melakukan kunjungan dua hari di Ditjen Pajak Sumut pekan lalu, juga menyimpulkan lima orang petugas P4 juga terindikasi terlibat dalam mafia pajak PT PHS. Disebutkannya, sejumlah petinggi Ditjen Pajak I Sumut dan sejumlah petugas pajak lainnya, terlibat dalam pembuatan laporan fiktif dari pemeriksaan restitusi wajib pajak patuh PT PHS Group dan tiga  anak perusahaannya.  “Itu berlangsung sejak tahun 2006 hingga 2009,” tegasnya.

Atas temuan dan kesimpulan Panja ini, lanjut Mekeng, pihaknya melalui Komisi XI DPR RI akan melaporkannya kepada Dirjen Pajak Pusat, Menteri Keuangan dan Kejaksaan Agung untuk segera ditindaklanjuti. ‘’Kedua mantan petinggi di Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Sumut I itu saat ini telah dipindahtugaskan di Dirjen Pajak Pusat. Kedua oknum ini mendapatkan tugas dan jabatan baru di sana,” tegasnya.

Sementara lima petugas P4 Ditjen Pajak Sumut, lanjutnya, sesuai hasil pemeriksaan yang mereka lakukan hanya korban perintah atasan. Kelimanya mengaku hanya menjalan perintah atasan mereka, RNLD, yang mendapat perintah langsung dari RB. ‘’Berdasarkan info yang kita dapat, RNLD pindah tugas ke Jakarta karena ‘dibawa’ RB agar bersama-sama bertugas di kantor yang baru di Jakarta. Sedangkan lima orang anak buahnya, hanya mengaku menjalankan perintah saja,” terangnya. Kelima orang petugas pemeriksa tersebut masing-masing berinisial AC, SS, IW, EL, JPS.
Mekeng juga memastikan ada enam perusahaan suplier besar di Sumut yang mengemplang pajak.

Di antaranya tiga perusahaan PT PHS, yakni PT POL, PT LJ dan PT V. Sejumlah perusahaan ini terlibat kasus restitusi (pengembalian setoran pajak) dari wajib pajak (WP) dengan menggunakan faktur pajak tak berdasarkan transaksi sebenarnya (fiktif).  “Kami berkesimpulan bahwa ada sindikasi di Ditjen Pajak Sumut, mereka yang diduga terlibat ‘mendesain’ sedemikian rupa para wajib pajak di Sumut selama lebih kurang tiga tahun, dari proses buper (bukti permulaan)-nya sampai awal IDPL (informasi data laporan pengaduan),” tegas Mekeng.

Kepada wartawan, Mekeng juga mengatakan, pihaknya banyak menemukan kejanggalan di Ditjen Pajak Sumut. Karenanya agar ada titik terang, selain melaporkan temuan ini ke lembaga hukum, pihaknya dalam bulan ini juga akan memanggil mantan Kakanwil Ditjen Pajak Sumut, RB, Kepala Dirjen Pajak Pusat dan Menteri Keuangan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI. ‘’Banyak laporan yang mereka (Ditjen Pajak Sumut) yang di sampaikan ke Menteri Keuangan selama ini yang  baik-baik saja, yang bobrok ditutup-tutupin,” tandasnya.

Sebelumnya, secara lebih detail, Mekeng kepada wartawan koran ini mengatakan, keganjilan yang ditemukan pihaknya dalam kasus PT PHS, yakni ditemukan adanya perintah mengeluarkan penghentian pengembalian restitusi terhadap wajib pajak PT PHS yang tidak memiliki dasar hukum. Keganjilan lain yang ditemukan  yakni, meski belum dilakukan pemeriksaan dari level kantor pelayanan pajak (KPP), tapi perintah untuk penghentian penyidikan adanya bukti permulaan laporan fiktif faktur pajak di PT PHS pada bulan September 2007, sudah dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Madya Medan kala itu yang berinisial LS. Perintah itu ditujukan kepada Kasi Pemeriksaan berinisial AC.

Kakanwil Ditjen Pajak Wilayah I Sumut, Yusri Natar Nasution saat dikonfirmasikan mengatakan, siap jika akan dimintai keterangan terkait kasus tersebut. “Jika harus dipanggil dan diperiksa, ya silakan saja,” katanya. “Saat ini belum ada info yang saya dengar, jika mereka (oknum-oknum DJP yang bermasalah, Red), akan dipanggil oleh pihak Panja Pajak Komisi XI DPR RI yang datang beberapa waktu lalu atau pihak manapun. Tapi jika memang harus dipanggil sah-sah saja,” katanya. Ditambahkan Yusri, dia juga bersedia dipanggil jika keterangannya diperlukan. “Sebagai warga negara yang baik, saya harus turut terhadap hukum. Artinya, jika dipanggil untuk dimintai keterangan mengenai masalah ini, saya siap,” tegasnya.

Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani membeber aksi mafia pajakyang melibatkan PT Permata Hijau Sawit (PHS), grup dari PT Permata Hijau Grup (PHG). PHS adalah perusahaan produsen dan eksporter yang bergerak di bidang perkebunan serta industri hilir minyak sawit.
Menurut Sri Mulyani, Ditjen Pajak sedang menyelidiki dugaan pemakaian faktur fiktif di perusahaan itu senilai Rp300 miliar. Saat ini kasusnya tengah didalami Ditjen Pajak.

Direktur PT PHS Jhonny Virgo mengaku, pihaknya selalu menggunakan faktur pajak sesuai dengan prosedur. Untuk itu, dia membantah jika PHS disebut menggunakan faktur pajak palsu sehingga merugikan negara hingga Rp300 miliar. ”Itu tidak benar,” ujarnya saat konferensi pers di Jakarta beberapa waktu lalu.

Jhonny mengakui, pihaknya memang pernah diperiksa oleh Ditjen Pajak pada September 2007 lalu terkait dugaan penggunaan faktur pajak fiktif untuk dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pemeriksaan tersebut berlanjut dengan penyidikan pada Oktober 2009 hingga saat ini. ”Padahal, yang menggunakan faktur fiktif adalah supplier kami, bukan kami,” katanya.
Menurut Jhonny, penggunaan faktur fiktif oleh supplier yang menyuplai kelapa sawit ke PHS, diluar kontrol manajemen PHS. Selain itu, dari ratusan supplier, hanya sekitar 6 supplier yang terbukti menggunakan faktur fiktif.

Kasus tersebut, lanjut dia, juga sudah diajukan ke meja hijau. Hasilnya, pada pertengahan 2009, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara dan PN Jakarta Selatan memutuskan supplier lah yang bersalah dalam kasus faktur fiktif. Adapun PT PHS, justru dinilai sebagai pihak yang ikut dirugikan gara-gara ulah supplier tersebut. ”Jadi, kami tidak habis pikir, kenapa justru kami yang disalahkan,” ungkapnya.

Bahkan, Jhonny mengklaim, sejak kasus tersebut, maka hak restitusi PPN milik PT PHS periode Agustus 2007 hingga Juni 2008, hingga kini masih tertahan dan belum bisa dicairkan. ”Nilainya Rp530 miliar,” sebutnya.

Menurut Jhonny, pihaknya juga pernah membahas permasalahan restitusi dan dugaan faktur pajak fiktif tersebut dengan pihak Ditjen Pajak pada Desember 2007. ”Saat itu, kami bertemu dengan Pak Darmin (Nasution, Dirjen Pajak saat itu) di sebuah hotel, di sela acara GIMNI (Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia). Beliau bilang, akan dicek lagi. Tapi, sampai Beliau jadi (Pjs) Gubernur BI, kami belum mendapat jawaban,” paparnya.

Kuasa Hukum PT PHS Agus Liana menambahkan, PT PHS tidak memiliki afiliasi apapun dengan supplier yang menerbitkan faktur pajak fiktif tersebut. Untuk itu, pihaknya sudah mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan agar meminta PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk membuka aliran dana dari PT PHS ke para supplier tersebut. ”Ini agar semuanya jelas,” ujarnya.

Menurut Agus, pihaknya meminta kepada Menteri Keuangan agar diberi kesempatan menjelaskan melalui proses gelar perkara, untuk mengusut kasus faktur pajak fiktif tersebut. ”Agar Menkeu mendapatkan informasi yang berimbang,” katanya. (rud/mag-13)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut